TUMBUH DARI TANAH PUSAKA
Weslly Johannes bersama James Alam, S.Th, M.Si.
Tumbuh di kekeringan dunia yang di sembunyikan.
YANG TUMBUH DARI TANAH PUSAKA
Hampir dua pekan ini saya dan kawan-kawan berkesempatan untuk minum dari mata air yang terbit dari tanah pusaka, yakni agama-agama yang lahir dari kekayaan budaya Indonesia: Sedulur Sikep, Kaharingan, Sunda Wiwitan, dan Marapu.
Di dalam ragam narasi yang kami dengarkan ada satu kenyataan yang selalu disebutkan: tanah. Hampir tidak ada hal yang bisa dibicarakan tanpa melihat hubungannya dengan tanah. Tanah adalah tali perut, identitas, nyawa, ibu, dan yang ilahi hadir di situ.
Pohon dan hewan dan air dan angin dan batu dan api adalah tubuh yang utuh dan satu. Hutan bukan alam liar untuk ditaklukkan, melainkan rumah sakral yang harus dirawat, dinikmati, dihayati dengan suatu sikap yang rendah hati, riang, dan khusyuk.
Namun, dari situ, narasi kehidupan agama asli bergeser memasuki babak-babak yang gelap dan pahit. Zaman kolonial pada masa lampau dan kolonialisme sosio-religio-politik-ekonomi sampai hari ini memberi pada babak-babak itu judul-judul yang seram: penyingkiran, perampasan, penyerobotan, pengabaian, pemaksaan, penundukkan, dan seterusnya.
Tanah-tanah dirampas oleh kekuasaan, kadang dengan pertolongan militer, dan diserahkan kepada korporasi raksasa demi kepentingan umum, sementara kepentingan umum kadang memang cuma jargon kosong. Atas nama pembangunan, pohon-pohon ditumbangkan dan atas nama kemajuan, budaya ditundukkan. Lalu, sesuatu menggeliat di dalam narasi-narasi gelap dan pahit itu: sebuah perlawanan.
Jika kita mendengar narasi-narasi agama asli di Indonesia dengan baik, maka sesungguhnya semua itu adalah kisah-kisah perlawanan. Meski jarang ada yang menang, tetapi kisah-kisah perlawanan itu masih terus ditulis dengan setia, sebab tanah-tanah itu bukan properti, bukan pula soal makan belaka, tetapi juga berarti ibu, yang ilahi, dan sebuah diri.
Agama-agama yang disebut dalam catatan ini, semuanya tumbuh dari bumi Indonesia lalu terdominasi, kemudian terasing di atas tanah sendiri. Dan semua itu, seperti telah kita ketahui bersama, dikerjakan oleh saudara sendiri.
Indonesia akan merayakan 72 tahun kemerdekaan yang diterima sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Wiji Thukul pernah menulis begini: "MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA" Siapa yang merdeka?"
Hampir dua pekan ini saya dan kawan-kawan berkesempatan untuk minum dari mata air yang terbit dari tanah pusaka, yakni agama-agama yang lahir dari kekayaan budaya Indonesia: Sedulur Sikep, Kaharingan, Sunda Wiwitan, dan Marapu.
Di dalam ragam narasi yang kami dengarkan ada satu kenyataan yang selalu disebutkan: tanah. Hampir tidak ada hal yang bisa dibicarakan tanpa melihat hubungannya dengan tanah. Tanah adalah tali perut, identitas, nyawa, ibu, dan yang ilahi hadir di situ.
Pohon dan hewan dan air dan angin dan batu dan api adalah tubuh yang utuh dan satu. Hutan bukan alam liar untuk ditaklukkan, melainkan rumah sakral yang harus dirawat, dinikmati, dihayati dengan suatu sikap yang rendah hati, riang, dan khusyuk.
Namun, dari situ, narasi kehidupan agama asli bergeser memasuki babak-babak yang gelap dan pahit. Zaman kolonial pada masa lampau dan kolonialisme sosio-religio-politik-ekonomi sampai hari ini memberi pada babak-babak itu judul-judul yang seram: penyingkiran, perampasan, penyerobotan, pengabaian, pemaksaan, penundukkan, dan seterusnya.
Tanah-tanah dirampas oleh kekuasaan, kadang dengan pertolongan militer, dan diserahkan kepada korporasi raksasa demi kepentingan umum, sementara kepentingan umum kadang memang cuma jargon kosong. Atas nama pembangunan, pohon-pohon ditumbangkan dan atas nama kemajuan, budaya ditundukkan. Lalu, sesuatu menggeliat di dalam narasi-narasi gelap dan pahit itu: sebuah perlawanan.
Jika kita mendengar narasi-narasi agama asli di Indonesia dengan baik, maka sesungguhnya semua itu adalah kisah-kisah perlawanan. Meski jarang ada yang menang, tetapi kisah-kisah perlawanan itu masih terus ditulis dengan setia, sebab tanah-tanah itu bukan properti, bukan pula soal makan belaka, tetapi juga berarti ibu, yang ilahi, dan sebuah diri.
Agama-agama yang disebut dalam catatan ini, semuanya tumbuh dari bumi Indonesia lalu terdominasi, kemudian terasing di atas tanah sendiri. Dan semua itu, seperti telah kita ketahui bersama, dikerjakan oleh saudara sendiri.
Indonesia akan merayakan 72 tahun kemerdekaan yang diterima sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Wiji Thukul pernah menulis begini: "MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA" Siapa yang merdeka?"
Comments
Post a Comment
komentar